Kawasan Rumah Adat Sao Mario Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibangun dengan gaya arsitektur sejumlah suku di Pulau Sulawesi hingga di Sumatera. Rumah adat Sulawesi Selatan jejak peninggalan tokoh Bugis almarhum Prof Andi Mustari Pida yang sukses di tanah perantauan Minangkabau, Padang, Sumatera Barat.
Rumah Adat Sao Mario terletak di Kelurahan Manorang Salo, Kecamatan Marioriawa, berjarak sekitar 30 Km dari Kota Watansoppeng. Di kompleks Rumah Adat Sao Mario ini, terdapat berbagai jenis rumah adat yang bergaya arsitektur Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, hingga Minangkabau dan Batak.
Rumah adat ini diketahui dibangun pada Desember 1989 oleh Prof Mustari. Tokoh Bugis yang pernah menjadi Rektor Universitas Eka Sakti Padang (UNES) Sumatera Barat, hingga tutup usia di usia 72 tahun pada 2018 silam.
Semasa hidupnya Prof Mustari dikenal sebagai tokoh adat yang berhasil mendirikan universitas di tanah rantau Kota Padang. Di kota itu, ia sangat ditokohkan masyarakat Padang.
Prof Mustari sempat mendapat gelar Datuk Rajo Nan Sakti (Tanah Minang), Mangaraja Tuongku Mulasontang Siregar (Batak) dan Ketua Forum Pembaruan Kebangsaan Seluruh Etnis Sumatera Barat (Sumbar). Sosoknya sangat dikenal peduli dalam mempertahankan nilai adat dan kebudayaan.
Pengelola Rumah Adat Sao Mario Andi Mappasessu menjelaskan, ide pembangunan rumah adat itu muncul saat Prof Mustari tengah ke Amerika Serikat mengikuti konferensi guru besar yang mewakili Indonesia. Saat itu Prof Mustari menyempatkan diri ke San Fransisco.
Di tempat itu Prof Mustari takjub ada kompleks China Town dengan kultur yang kuat bahkan menjadi komunitas Asia terbesar di Amerika. Namun itu turut mengganggu pikirannya karena justru orang Bugis tak ia temukan membangun kultur yang serupa di sana.
“Makanya saat itu Prof Mustari berpikir kalau saya pulang akan membangun tempat perkampungan orang Sulawesi. Begitu dia katakan waktu pertama kali ingin membangun ini Sao Mario,” kata Mappasessu kepada detikSulsel.
Dia menyebutkan, kata ‘Sao’ diambil dari bahasa pengganti rumah orang dulu, sedangkan ‘Mario’ dari kata masagena atau senang. Rumah Adat Sao Mario kini dikenal dengan kawasan yang diisi sejumlah rumah adat dari berbagai suku.
“Paling dikenal dengan nama Bola Seratue karena rumah ini memiliki tiang 100. Rumah ini terbuat dari kayu ulin dan kayu sepu. Ornamen dinding tergantung pada karakter setiap etnis. Kalau rumah adat Bugis gambar naga ornamennya,” tambahnya.
Dia mengaku Rumah Adat Sao Mario dulunya memiliki atapnya sire atau atap kayu dari bahan. Namun Prof Mustari mengganti atapnya pada tahun 2016.
Atapnya dari bahan seng yang dibeli khusus dari Jerman. Pertimbangannya karena atap itu dianggap sebagai bahan paling berkualitas di dunia yang lentur kaya karet.
Budayawan Soppeng itu menambahkan, pembukaan lahan pembangunan rumah adat itu menggunakan uang pribadi Prof Mustari. Rumah adat Sao Mario dibangun tanpa bantuan pemerintah saat itu, saking pedulinya Prof Mustari dengan budaya di tanah kelahiran sendiri.
Rumah adat Sao Mario kini cagar budaya. Salah satu ikon di Soppeng yang terletak di perbatasan Sidrap yang menjadi salah satu alternatif destinasi wisata.
“Beliau (Prof Mustari) mengharapkan agar dilestarikan. Jangan katanya bilang rumah ini rumah Andi Mustari, karena ketika saya wafat tidak lagi menyebut nama saya. Melainkan ini adalah rumah untuk orang-orang yang beradat, kalau ada adatnya itu rumahnya juga,” ucapnya.
Almarhum Prof Mustari punya harapan menyatukan sejumlah suka berbeda dalam satu kawasan rumah adat. Dengan memegang teguh budaya dan saling menghargai budaya masing-masing.
“Miniatur Balla Lompoa juga ada di sini, dan hampir sama besarnya. Makanya bukan cuman rumah orang Bugis, dan orang Makassar, pokoknya ini rumah orang ya tau makkiade e atau orang beradat. Kita semua bersaudara,” sambung Mappasesu.
Rumah Adat Sao Mario Jadi Museum dan Tetap Aktual
Luas wilayah Sao Mario dibangun di atas lahan kurang lebih 12 hektare. Di kawasan itu ada lahan pribadi Prof Mustari yang di dalamnya terdapat kebun, dan ada sawah 4 hektare, dan selebihnya lokasi bangunan rumah adat.
Rumah Adat Sao Mario berfungsi sebagai museum dengan koleksi berbagai jenis barang antik yang bernilai tinggi. Asalnya dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, seperti kursi, meja, tempat tidur, senjata tajam dan berbagai jenis batu permata.
“Kalau di dalam rumah itu ada benda pusaka, di mana kadang berlabuh Prof Mustari pasti ada benda bersejarah dibawa pulang,” ucap Pengelola Rumah Adat Sao Mario Andi Mappasessu.
“Ada keris, badik, pedang, tombak, payung, pakaian-pakaian raja, gelang emas raja dan aksesorisnya. Hampir semua koleksi dari Sabang sampai Merauke ada,” sebutnya.
Mappasessu menambahkan, sampai sekarang rumah adat ini terus dibangun dan diperbaharui sesuai kebutuhan pengunjung, Namun perubahan ini ditekankan tidak mengubah konteks atau makna tujuan pembangunan awal Rumah Adat Sao Mario.