INDOPENA.COM – Sejarah dan Pemugarannya (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan, 1984) menjelaskan bahwa Bola Soba didirikan saat Raja Bone ke-31, La Pawawoi Karaeng Sigeri MatinroE ri Bandung menjadi penguasa Kerajaan Bone (1895-1905).
Bola Soba’ sendiri sempat dinamakan Saoraja, yang berarti “kediaman sang raja”. Setelahnya, bangunan sepanjang panjang 39,45 meter ini ditempati oleh putra La Pawawoi yang bernama Baso Pagilingi Abdul Hamid. Baso Pagilingi kelak dilantik sebagai Petta Ponggawae (Panglima Perang) Kerajaan Bone oleh raja, setelah lebih dulu mendapat persetujuan dari Dewan Adat (Ade’ Pitue).Lebih jauh, derajat yang menempati Saoraja sendiri bisa dilihat dari jumlah singkap bubungan rumah (timpa’ laja) sesuai tata kehidupan masyarakat Bugis. Lima singkap berarti sedang ditinggali raja, dan empat singkap jika dihuni oleh putra raja.
Peristiwa Rumpa’na Bone (Runtuhnya Bone), yakni invasi tentara Hindia-Belanda pada 1904 hingga 1905, berdampak amat dalam bagi eksistensi Kerajaan Bone. Dipimpin oleh Petta Ponggawae, masyarakat dan bala tentara saling bahu membahu menahan laju ratusan prajurit KNIL pimpinan Kolonel C. Van Loenen. Namun mereka tak sanggup menghalau lantaran armada musuh dilengkapi persenjataan yang lebih canggih.Laskar Bone terus menerus terdesak mundur. Raja La Pawawoi terpaksa menyingkir ke daerah Pasempe setelah Saoraja berhasil direbut oleh KNIL pada 30 Juli 1905. Petta Ponggawae pun kerap berpindah-pindah untuk menjaga perlawanan. Mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, Citta di daerah Soppeng hingga ke Bulu Awo yang berbatasan dengan Tana Toraja.Di Bulu Awo inilah Petta Ponggawae gugur diterjang peluru prajurit KNIL pada 18 November 1905, sekaligus mengakhiri perlawanan rakyat Bone. La Pawawoi, yang saat itu berusia 80 tahun, tertangkap dan diasingkan ke Bandung kemudian Batavia. Ia mangkat pada tanggal 17 Januari 1911.
Pada tahun 1912, Saoraja difungsikan oleh otoritas Hindia-Belanda sebagai penginapan dan menjamu tamu-tamu asal Belanda atau Eropa. Dari situlah awal penamaan Bola Soba’, yang bermakna “rumah persahabatan”, atau dalam bahasa Bugis yakni Sao Madduppa to Pole.Pasca-mangkatnya La Pawawoi, tak ada raja yang memerintah selama 26 tahun. Selama itu pula Saoraja tak pernah ditinggali oleh penguasa tertinggi Bone. Barulah pada masa Raja Bone ke-32, La Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (1931-1946), Bola Soba’ difungsikan sebagai istana sementara. Ini dijelaskan dalam Laporan Pemugaran Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan tahun 1982 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Salah satu inisiator Deklarasi Jongaya tersebut bahkan mengizinkan petinggi kelompok Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) bermarkas di Bola Soba’ selama masa perjuangan pasca-Proklamasi Kemerdekaan. Tahun 1957, tempat tersebut sempat menjadi asrama TNI sebelum berubah jadi situs bersejarah.
Bola Soba’ sendiri sudah tiga kali berpindah tempat. Pertama, sekaligus lokasi asli, yakni rumah jabatan Bupati Bone di Jalan Petta Ponggawae. Kedua, yakni Jalan Veteran Watampone. Dan yang ketiga, lokasinya sekarang, sejak tahun 1978. Peresmian Bola Soba’ sebagai situs bersejarah dilakukan pada 14 April 1982 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof. Dr. Daoed Joesoef.Bola Soba’ sendiri dirancang mendekati desain aslinya saat pertama kali dibangun seabad silam. Perubahan hanya terjadi untuk bahan kayu dan ukuran bangunan. Bola Soba’ terdiri dari empat bagian yakni lego-lego (teras) sepanjang 5,60 meter, rumah induk (21 meter), selasar penghubung rumah induk dengan bagian belakang (8,55 meter) dan bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur (4,30 meter).Sebelu terbakar, Bola Soba’ berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda tertentu seperti guci dan dupa. Benda tersebut sengaja disimpan pengunjung yang melepas nazar (mappaleppe’ tinja’). Ada juga replika singgasana Raja Bone, meriam tua, lukisan La Tenritatta Arung Palakka (Raja Bone ke-15) dan silsilah penguasa Bone yang dipamerkan pada pengunjung.