Scroll untuk baca artikel
banner 325x300
Example 970x250
Sejarah

Peristiwa 4 Hari 4 Malam Agresi Militer Belanda di Kota Solo

×

Peristiwa 4 Hari 4 Malam Agresi Militer Belanda di Kota Solo

Share this article
Agresi Militer Belanda
Example 468x60

Perlawanan bangsa Indonesia untuk memperebutkan kemerdekaan diwujudkan dalam perang kemerdekaan yang dikenal dengan revolusi fisik atau revolusi kemerdekaan. Perlawanan rakyat Indonesia ini juga terjadi di daerah-daerah lokal, yang juga memberikan dampak yang besar dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Kota Solo menjadi salah satu daerah yang ikut mempertahankan kemerdekaan di tingkat lokal.

Beberapa peristiwa revolusi kemerdekaan yang terjadi di Kota Solo pada masa perang kemerdekaan tahun 1945- 1949, diantaranya perebutan kekuasaan Jepang, serangan umum 4 hari 4 malam (Agresi Militer Belanda II) di Solo, serta sebuah peristiwa diplomasi perundingan perjanjian gencatan senjata.

Example 300x600

Serangan umum 4 hari 4 malam di Kota Solo merupakan sebuah peristiwa puncak dari rangkaian serangan-serangan sebelumnya, sejak Belanda memasuki Kota Solo. Serangan yang terjadi di Kota Solo ini merupakan sebuah peristiwa yang sangat menarik dan unik. Pasalnya peristiwa ini terjadi pada masa transisi antara perjuangan politik dan diplomatik. Pada waktu itu Kota Solo menjadi basis perkumpulan para pemuda, yang kemudian menjadikan kota ini menjadi pusat kegiatan politik, pusat industri, dan memiliki fasilitas pendidikan yang memadai.

Agresi Militer Belanda II pada serangan umum 4 hari 4 malam di Kota Solo terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah basis gerilya, wilayah yang diduduki Belanda, dan wilayah yang tidak dikuasai oleh salah satu pihak. Wehr Kreise adalah wilayah yang akan melakukan peperangan secara sendiri-sendiri dan tidak tergantung satu sama lain atau pada markas besarnya.

Pertempuran 4 hari 4 malam di Kota Solo pecah akibat dari hasil keputusan Roem Royen yang sangat membebani Kota Solo. Karena kembalinya Kota Yogyakarta ke Republik Indonesia pada tanggal 29 Juni 1949, mengakibatkan pasukan Indonesia di wilayah Yogyakarta harus mundur dari kota tersebut dan kemudian ditempatkan di Solo. Penambahan pasukan ini mencapai 4 batalyon.

Kemudian Gubernur Militer mengeluarkan Instruksi No.26 A, pada tanggal 10 Juni 1949 yang memerintahkan untuk melakukan pertempuran 4 hari di Kota Solo. Kemudian perintah tersebut dilaksanakan oleh rayon-rayon untuk menyerang pos-pos dan patroli Belanda. Serangan ini dilakukan secara gencar-gencaran siang dan malam. Instruksi serangan ini merupakan serangan umum yang ke-III, yang sebelumnya sudah pernah diadakan serangan secara besar-besaran terhadap Belanda.

Serangan pertama yang terjadi pada peristiwa ini terjadi pada tanggal 8 Februari 1949, kemudian serangan umum kedua terjadi pada tanggal 2 Mei 1949. Serangan ini terjadi secara terus menerus terhadap pasukan Belanda semenjak mereka memasuki Kota Solo. Puncak dari kedua serangan ini adalah pada serangan umum yang terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949.

Serangan umum pada tanggal 7 Agustus 1949, dimulai pada pukul 06.00 pagi. Serangan umum ini dipimpin sendiri oleh Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Kondisi pada waktu itu, Kota Solo telah dikepung dari segala sisi oleh anggota gerilya yang menyerbu kota pada pagi hari.

Serangan yang terjadi pada hari itu terjadi secara menggemparkan. Peluru mulai ditembakkan, disusul dengan rentetan ledakan. Serangan yang terjadi secara mendadak itu kemudian mengejutkan Belanda dan mendesak mereka untuk mengundurkan diri dan tinggal di markas masing-masing.

Pihak Belanda kemudian tak ingin kalah. Mereka kemudian melancarkan serangan balik dengan mengerahkan seluruh angkatan udaranya. Tentara Belanda menurunkan enam orang pejuang dan melakukan serangan tanpa pandang bulu dan melakukan pengeboman, yang kemudian menimbulkan banyak korban jiwa.

Pertempuran yang tiada henti ini akhirnya membuat pihak Belanda terpojok. Posisi Belanda yang pada saat itu sudah terdesak seluruhnya, akhirnya tidak dapat berkutik sehingga terpaksa bertahan di daerah benteng dan Mangkunegaran. Pertempuran ini masih terus berlanjut hingga sampai pada puncaknya yang terjadi pada tengah malam di tanggal 10 Agustus 1949.

Kemudian Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno memerintahkan untuk menghentikan tembak menembak atau ceasefire pada tanggal 3 Agustus 1949. Perintah berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia dan diumumkan melalui radio. Karena adanya masalah teknis, perintah dari Soekarno tersebut baru terlaksana setelah tanggal 10 Agustus, yang terjadi pada puncak pertempuran. Hal inilah yang akhirnya membuat serangan umum secara otomatis berakhir. Berakhirnya serangan umum secara otomatis ini juga menandakan berakhirnya masa penjajahan Belanda di Kota Solo.